-->

CERITA MIMPI BESAR DI BALIK PLANET NUFO

Photo by baladena.id

dilansir dari situs baladena.id

Ternyata, Pesantren-Sekolah Alam Nurul Furqon atau yang lebih dikenal dengan Planet NUFO tidak tiba-tiba ada. Ia didirikan setelah melalui rangkaian proses yang bisa dikatakan cukup panjang. Pendirinya, Dr. Mohammad Nasih, M.Si., yang oleh para santrinya akrab disapa Abah Nasih atau Abana telah memiliki imajinasi untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan seperti Akademia milik Plato dan Lyceum-nya Aristoteles sejak kuliah beberapa semester jenjang S1. Imajinasi itu dia rawat dan perjuangkan tanpa rasa putus asa. Sampai akhirnya momentumnya terjadi dan berdirilah Planet NUFO dengan motto yang menggetarkan “Different and the Best”.

Bagaimana kisah lengkapnya? Baladena.id melakukan wawancara eksklusif dengan Abah Nasih sebagai berikut:

Baladena: “Apa latar belakang Abah Nasih mendirikan Planet NUFO ini?”

Abana: “Latar belakang yang mana ini? Latar belakang yang dekat di belakang? Atau yang jauh di belakang? Karena sebenarnya ada juga latar belakang yang jauh di belakang, yang sebenarnya sudah nyaris terlupakan, karena saya merasa sudah terwujud di tempat lain. Saya merasa bahwa yang terjadi pada saat itu adalah perwujudan dari harapan saya saat itu”.

Baladena: “Sepertinya menarik kalau diceritakan semuanya. Termasuk yang sudah hampir terpendam itu”.

Abana: “Sejak sekolah menengah dan mondok, saya sudah suka membaca buku-buku agama tentu saja, dan juga filsafat. Kritik-kritik Imam al-Ghazali terhadap filsafat, justru membuat saya penasaran tentang filsafat, sehingga makin sering menemukan nama al-Farabi dan Ibn al-Rusyd. Akibatnya, walaupun saya kuliah di Jurusan Fisika Unnes, saya lebih banyak baca buku pemikiran dan filsafat. Mungkin itulah yang bikin IPK saya 2,5. Hahaha. Seharusnya belajar fisika, malah asyik dengan matafisika.”

Baladena: “Ide mendirikan lembaga pendidikannya dari mana?”

Abana: “Waktu itu, saya sudah kuliah di Fakultas Ushuluddin IAIN Semarang. Dan saat itu saya sudah jadi pengurus HMI Cabang Semarang. Berarti sudah lewat semester VI. Saat itu, ada seorang teman sesama pengurus, kakak angkatan sih di Unnes; Suci Muriani namanya, membaca novel sejarah filsafat “Dunia Sophie” karya Jostein Gaarder yang saya sudah membacanya. Kami lalu diskusi ringan tentang buku itu. Diskusi itulah yang kemudian membuat saya punya cita-cita suatu saat nanti saya akan membuat lembaga pendidikan untuk mencerahkan kaum muda, sebagaimana Akdemia Plato dan Lyceum Aristoteles. Suci ngakak pada saat itu. Dan sekarang salah satu murid di Planet NUFO adalah anaknya. Walaupun sekarang dia tinggal di Jakarta, tetapi anaknya yang masih SD dikirim ke Planet NUFO. Mungkin karena dia adalah orang pertama yang tahu tentang keinginan atau cita-cita saya itu. Dia sudah bisa membayangkan apa yang ingin saya lakukan. Karena dia memang di antara teman terbaik saya dalam diskusi. Jurusannya sejarah, jadi banyak nyambung kalu ngobrol santai di sela-sela aktivitas ber-HMI di cabang dulu.”

Baladena: “Jadi, sebenarnya sudah lama ya. Berarti kira-kira sudah hampir dua dekade dari dipikirkan sampai kemudian benar-benar terwujud?”

Abana: “Planet NUFO-nya iya. Tapi kan ada yang mendahuluinya. Dulu, waktu diskusi dengan Suci itu, bayangan saya, lembaga pendidikan saya itu akan saya bangun di samping timur rumah orang tua saya di bawah pohon kluweh besar yang dulu ada di sana. Sekarang sudah tidak ada. Kluwih itu seperti sukun, tapi hanya bisa disayur. Dalam pikiran saya saat itu, tanah di samping rumah saya itu sudah cukup luas. Sebab, mushalla di depan rumah saya, yang bapak ibu saya ngajar ngaji anak-anak kampung, itu sudah serasa besar. Namanya saja anak kampung yang belum banyak melihat dunia luar. Ternyata, yang saya dirikan pertama kali adalah Mohammad Nasih “Monash” Institute di Semarang tahun 2011. Ini rumah perkaderan dan tahfidh al-Qur’an yang konsepnya adalah pesantren plus. Karena itu, di sini diajarkan berpikir filosofis untuk melakukan rekonstruksi pemikiran, khususnya pemikiran Islam.

Baladena: “Jadi, Monash Institute ini dirasa sebagai wujud dari cita-cita itu ya? Walaupun bukan di desa kelahiran, tetapi di Semarang.”

Abana: “Awalnya begitu. Tapi ternyata Pak Fatwa mengajak saya mendirikan perguruan tinggi yang kemudian kami beri nama STEBANK (Sekolah Tinggi Ekonomi dan Perbankan) Islam Mr. Sjafruddin Prawiranegara Jakarta pada tahun 2012. Setelah setelah Monash Institute di Semarang. Saya mulai makin merasa, bahwa ini benar-benar jawaban dari harapan masa lalu itu. Sebab, Pak Fatwa mengajak bikin perguruan tinggi yang anggap saja sebutan lain akademi, seperti Akademia Plato itu. Jadi, anggap saja yang ini Akademia-nya Plato dan yang di Semarang itu Lyceum-nya Aristoteles. Hahaha. Lengkap sudah. Allah berikan keduanya.”

Baladena: “Planet NUFOnya ini yang apa lagi berarti?”

Abana: “Nah, ini sepertinya jadi bonus. Dan ini kelanjutan saja dari Monash Institute dan juga STEBANK itu. Sebab, ustadz/ahnya 100% dari Monash Institute. Lalu KKN STEBANK saya tempatkan di Planet NUFO untuk mendinamisir dan membangun sistem keuangannya. Tempatnya justru yang seperti saya imajinasikan dulu. Di kampung saya. Posisinya memang tidak di tempat yang dulu saya bayangkan. Tempat itu, kini jadi pesantren al-Falah yang dikelola oleh adik kandung saya, Ela. Mantan aktivis juga. Pernah jadi Ketum Komisariat dan Ketum Kohati Korkom IAIN Walisongo. Tapi dia sejak lulus S1 langsung memilih pulang kampung dan jadi guru lalu mengembangkan pesantren “warisan” orang tua kami. Nah, Planet NUFO ini saya dirikan tidak jauh dari al-Falah. Hanya tidak lebih dari 100 meter, bahkan mungkin 50 meter saja. Jadi santri di kedua pesantren kami ini sekarang sering melakukan aktivitas bersama. Tapi keduanya punya visi dan karakter yang berbeda. Saya buat jalan setapak dengan paving yang menghubungkan antara Planet NUFO dengan al-Falah. Kalau saya mau makan di rumah adik saya biar mudah. Hahaha. Saya kan sering makan di rumah adik saya. Masakan adik saya ini khas. Enak sekali. Jadi, setiap kali saya ke Planet NUFO, saya makan di sana, walaupun hanya sekali dua kali. Di situ jajannya banyak juga. Dibawain oleh umat. Hahaha.”

Baladena: “Apa yang ingin Abah Nasih sampaikan belajar dari kejadian ini? Bahwa imajinasi itu penting?”

Abana: “Bukan hanya imajinasi itu penting. Tapi kalau berimajinasi harus yang besar sekalian. Sebab, imajinasi itu akan membuat kita memiliki sesuatu yang harus dilakukan dan diperjuangkan. Dan dari sinilah Allah akan memberikan semangat yang membuat kita jadi kuat. Kita yang lemah, dengan pertolongan Allah jadi kuat. Walaupun harus pontang-ponting, tapi rasanya nikmat. Kalau nggak punya imajinasi dan cita-cita, kita akan hidup apa adanya. Padahal Allah memerintahkan kita untuk berjuang, berjihad di jalannya. Sekarang mau perang? Ya tidaklah. Dalam masa damai, kita bisa melakukan jihad di bidang pendidikan. Memberikan pencerahan kepada anak-anak muda belia, menjadi “lebah penyengat” agar mereka menjadi progresif dan revolusioner. Hahaha. Di sinilah saya meyakini bahwa hadits qudsi bahwa Allah terbukti kebenarannya. Karena itu, berbaik sangkalah pada Allah dengan merawat dan membesarkan imajinasi positif. Lalu perjuangkan dengan sekuat tenaga untuk mewujudkannya. Jika kita sungguh-sungguh, maka Allah akan menolong. Jika Allah suda menolong, semua kebaikan yang kita imajinasikan itu akan diwujudkan. In syaa’a Allah”.


Techy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ART
Techy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ARTTechy Pranav PKD ART